Endless Part 3

Siang hari di bulan april. Di sebuah sekolah taman kanak – kanak di daerah selatan Jakarta, terdengar suara denting piano yang indah. Suara itu berasal dari sebuah ruangan kelas yang berwarna – warni. Ruangan kelas yang bercat putih dan dihiasi lukisan – lukisan tokoh kartun terkenal. Di dalam sana terdapat sekitar 20 anak kecil yang sedang berdiri sambil bernyanyi dengan riangnya. Disana juga ada 2 orang laki – laki yang sepertinya merupakan guru disana. Yang satu sedang berdiri sambil bernyanyi dan yang satu lagi sedang duduk sambil bermain piano. Steve Christanto, sosok laki – laki pertama yang sedang duduk disana dan memainkan sebuah lagu anak – anak dengan senyumnya yang ceria, laki – laki yang satu lagi namanya Reynaldo Gunawan. Laki – laki yang merupakan pemilik toko musik dimana ia ‘menemukan’ Steve pertama kali. “Twinkle twinkle little stars..” Terdengar suara anak – anak bernyanyi dengan indahnya, walau pengucapan bahasa Inggrisnya masih agak berantakkan. Tak lama, setelah mereka bernyanyi, kelas dibubarkan. Sudah pukul 13.00 siang, dan ini sudah waktunya anak kelas TK A pulang. Sudah banyak orang tua murid yang menunggu anak – anaknya di luar kelas. Dan anak – anak kecil mungil itu pun berpamitan pada Rey dan Steve. Mereka berjalan berbaris seperti barisan semut yang sedang mengantri makanan. Sangat lucu sekali. Mereka satu persatu keluar kelas dengan tertib setelah menyalami Rey dan Steve. “Kak Steve.” Terdengar suara anak kecil yang paling terakhir keluar. Steve pun menengok ke arahnya lalu melihatnya. Seorang gadis kecil yang rambutnya di kuncir satu memegang tangan Steve. “Besok, ajari aku main piano,ya, kak. Aku ingin bisa bermain piano seperti kakak.” Katanya lagi sambil tersenyum polos ala anak kecil. Steve menganggukkan kepala dan membelai kepala gadis kecil itu, ia tersenyum dan akhirnya anak kecil itu keluar kelas dan menghampiri ibunya yang sudah menunggu di luar kelas. Disini, disekolah taman kanak – kanak ini, Steve merupakan sosok yang sangat disukai oleh anak – anak kecil. Bagi anak – anak kecil, Steve adalah sosok seorang kakak yang baik dan mencintai mereka yang masih polos dan belum mengerti tentang dunia luar, ia bisa bermain dan membimbing anak kecil walau kekurangannya sangat terlihat. Tetapi bagi sosok orang dewasa di sekitar kita, mungkin Steve adalah orang yang aneh dan berbeda. Jelas, karena Steve memang agak terlihat aneh, perlu waktu agak lama untuk mengerti dan menghadapi sikapnya. Untungnya Steve tidak mengerti hal itu. Ya, sebaiknya ia tidak tahu dan tidak perlu mengerti. Ia sudah cukup bahagia dengan keadaannya sekarang.
*** “Rin!” Terdengar suara seseorang yang memanggil Rin dengan agak kencang. Rin terbangun dari lamunannya yang entah sudah berada dimana. Ia memalingkan wajahnya dari jendela kelasnya lalu menengok ke arah depan. Seorang gadis yang duduk di depannya menggembungkan pipinya. Gadis berambut pendek dan bertubuh kurus itu cemberut. Rin pun langsung tertawa dan meminta maaf padanya, tetapi gadis itu tetap saja menggembungkan pipinya. “Kau pasti tidak mendengarkan apa yang kukatakan.” Kata gadis itu lagi. “Payah, kau selalu saja melamun.” “Maaf deh maaf.” Rin tertawa sambil mengibaskan tangannya. “Memangnya aku hanya memikirkanmu saja.” Rin tertawa lagi. “Ah, Rin jangan begitu.” Gadis itu merenggut lagi. Manja sekali dia, seakan – akan Rin adalah kakaknya atau pacarnya mungkin. Gadis cantik di depan Rin ini namanya Erika. Gadis yang satu tingkat dengannya serta satu kelas dengannya. Erika sangat dekat dengan Rin, bahkan Erika sudah menganggap Rin sebagai saudaranya sendiri. “Memikirkan kakakmu lagi, ya?” Kata Erika pada Rin sambil menopang wajahnya menggunakan kedua tangannya. Tawa Rin menghilang, berganti dengan desahan pelan. “Ya.” Katanya lirih. “Aku percaya ia bisa melakukannya, juga ada Rey yang menjaganya dan membimbingnya. Tapi..” “Sudahlah, Rin.” Erika memotong kata – kata Rin sebelum Rin berbicara lebih panjang dan akhirnya membuat naskah pidato. “Aku yakin Steve pasti banyak disukai oleh anak – anak kecil. Steve kan tampan, lalu juga ia sangat bisa mengerti anak kecil.” Lanjutnya. “Ya, itu karena Steve memang merasa bahwa ia masih kecil.” Kata Rin. Entah Erika ini hanya menghibur atau mengucapkan hal yang sebenarnya, tetapi Rin setidaknya sudah lebih lega. Ya, tak ada gunanya khawatir dengan banyak hal yang seharusnya tidak perlu dikhawatirkan. Lagipula, baru saja 1 jam yang lalu, Rin baru menerima hasil pengumuman dari perjuangannya selama 3 tahun. Rin dinyatakan lulus dengan nilai matematika dan kimia tertinggi. Hal yang sangat membanggakan. Sayangnya, tak ada orang tua ataupun walinya yang menyaksikan hari bersejarah ini. “Semangat, lah Rin. Ini hari besarmu.” Erika tersenyum lebar di ikuti dengan anggukan kepala Rin. “Lalu? Kau mau bekerja dimana?” “Hmm..” Rin mengangkat bahunya. “Entahlah, aku masih ragu. Rasanya sulit untuk lanjut ke universitas dengan kondisi keuangan yang seperti ini. Steve juga masih butuh banyak biaya untuknya terapi.” Katanya sambil mendesah pelan. Suasana hening sejenak. Hanya terdengar bunyi angin sepoi – sepoi dari pendingin ruangan di ruang kelasnya. “Kau bagaimana?” Tanya Rin pada Erika. “Aku?” Erika balik bertanya dan disusul oleh anggukkan kepala Rin. “Hmm.. Aku lanjut ke universitas swasta dekat sini, aku ambil jurusan sastra Inggris.” “Apa? Betulkah?” Rin terkaget. “Kok aku tidak tahu? Bukankah katanya kau ingin masuk broadcasting?” “Ahahaha.” Erika tertawa. “Aku merahasiakannya darimu. Karena sebenarnya orang tuaku yang memintaku untuk masuk. Ya, aku pasrah saja. Tapi akhirnya aku menerimanya.” Erika tersenyum. “Sepertinya Inggris keren juga.” Erika terlihat melihat jauh ke arah luar jendela. Memandang langit cerah bulan April itu. “Kita berjuang bersama, Erika.” Erika menengok ke arah Rin yang tersenyum dan mengangkat tangannya. Ia pun membalas senyuman Rin. “Pasti, Rin.” Erika menyambut tangan Rin lalu menepuknya dan memeluknya. “Jangan lupakan aku setelah lulus. Kalau ada butuh datang saja, ya.” “Iya, Erika.” Rin tersenyum tulus. Setelah berbincang – bincang sedikit lebih lama lagi, Rin pun pulang dan langsung menuju restoran tempatnya bekerja untuk memulai rutinitasnya seperti biasa. Setelah turun dari angkutan umum, Rin berjalan menyusuri gang menuju restorannya dengan bersenandung kecil mengikuti nada – nada lagu yang dimainkan Steve lewat pianonya. Sebuah lagu tanpa judul yang indah. Restoran masih sepi ketika Rin datang. Hanya ada Alex yang sudah datang seperti biasa karena ia merupakan asisten kepala chef. Hari ini restoran buka dari sore dikarenakan pemilik restoran sedang pergi keluar kota untuk keperluan khusus sehingga restoran baru akan dibuka ketik kepala chef datang dan kepala chef akan datang nanti sore. Rin melihat Alex sedang duduk sambil meminum jus yang baru saja ia buat tadi. Melihat kehadiran Rin, Alex segera memanggilnya dan menyediakan tempat duduk untuk gadis itu. Setelah Rin berganti pakaian, Rin pun duduk di tempat yang sudah disediakan oleh Alex. “Bagaimana hasil ujianmu?” Tanya Alex dengan senyumnya yang mengembang bagaikan adonan kue yang baru matang. Ia mengambil cookies yang tadi ia panggang, meletakkannya satu persatu ke piring dan mulai memakannya. “Lulus dong.” Rin tertawa kecil, wajahnya terlihat sangat berseri – seri. “Nilai matematika dan kimiaku paling tinggi di sekolah.” “Betulkah?” Alex setengah tidak percaya. “Bagus sekali. Ayo kita bersulang dengan jus ini.” Alex menawarkan bersulang dengan mengangkat gelas yang berisi jusnya. “Ini juga, ada cookies coklat buatanku. Ayo dimakan. Anggap saja traktiran.” Rin tertawa lagi, bersulang jus? Traktir cookies? Tapi lalu ia berdiri dari tempat duduknya hendak mengambil gelas untuk menuangkan jus untuknya juga. “Ya, ya baiklah, kak.” Rin masih tertawa. Alex tersenyum lalu tertawa mendengar tawa Rin itu. Tapi lalu ia menghela nafasnya dan tersenyum lagi. “Oh, ya. Lukamu bagaimana?” Yang dimaksud Alex adalah luka cakar bekas terkena tangan Steve beberapa minggu yang lalu. Sakit sekali memang, dan sepertinya luka itu masih meninggalkan bekas kecil dan belum sepenuhnya sembuh. Rin pun memegang pipi kanannya lalu menurunkan tangannya tak lama kemudian. “Sudah tidak apa – apa kok.” Rin tersenyum lalu berjalan lagi hendak membuka lemari berisi gelas – gelas kaca. Tiba – tiba dari belakang, Alex merangkul Rin, membuat Rin menghentikan langkah kakinya. Rin langsung mematung di tempat karena kagetnya, sedangkan Alex hanya menyenderkan kepalanya di bahu Rin. “Selamat, ya. Aku senang.” Bisik Alex lirih di telinga Rin. Rin yang sudah sadar dari shoknya langsung maju dan melepaskan rangkulan Alex. Dengan wajah yang masih memerah ia tetap berjalan membelakangi Alex lalu mengambil gelas kaca untuknya. “Terima kasih.” Kata Rin tanpa memalingkan wajahnya pada Alex. 
*** Alexander Daniel sedang merenung di ruang tamu di apartemen yang baru saja di belinya. Ia mampir ke apartemennya setelah menjemput Steve di toko musik milik Rey. Ia mengaduk – aduk teh miliknya dengan banyak pikiran berkecamuk tentang apa yang terjadi kemarin sore. Bodoh kau, Alex. Rin pasti tidak suka diperlakukan seperti itu. Mengapa kau bisa begitu senang dan kehilangan kontrol dirimu? Pasti Rin sudah merasa tidak enak sekarang. Tentu saja, sejak kejadian itu Rin lebih banyak diam. Dan tadi sebenarnya ia terlihat enggan ketika Alex menawarkan diri untuk menjemput Steve, dan jelas – jelas Rin tidak berbicara apapun dengannya sewaktu di mobil, ia terus mengarahkan wajahnya ke arah jendela. Jelas seperti orang marah. Hingga Steve datang pun, Rin malah bermain dengan Steve di mobil tanpa mempedulikan keberadaan Alex disana. Alex tidak marah. Ia sadar itu kesalahannya. Kesalahan bodoh.. Ia terlalu labil.. Tak lama kemudian Alex melihat Steve duduk di ruang tamu dengan membawa gelas yang juga berisi teh lemon tersebut. Ia memegangnya dengan kedua tangannya lalu meniup – niupnya karena masih panas. Alex hanya memperhatikan tingkah laku Steve yang memang seperti anak laki – laki sejati. Apa dia sebenarnya jelmaan anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, ya? Tidak mungkin memang. Pikiran yang bodoh. “Steve, dimana Rin?” Tanya Alex pada Steve. Suara Alex tadi membuat Steve menengok ke arahnya dan memandang wajahnya dengan tatapan khas Steve. Tatapan yang membuat gemas. “Dimana, Rin?” Alex mengulangi kata – katanya lagi. Steve mengangkat jarinya dan menunjuk ke sebelah kanan. Ke arah dapur. Mungkin Rin sedang memasak. Alex melihat lagi Steve meninggalkan tehnya yang sudah ia tiup tapi tidak ia minum. Steve berlari – lari kecil ke dapur, mungkin ia ingin menyusul Rin. Alex berjalan pelan – pelan mengikuti Steve yang sudah berada di dapur. Dari luar dapur, ia agak mengintip ke arah dapur, ia bersembunyi di balik tembok ruang tengah agar Rin dan Steve tidak menyadari keberadaannya. Tunggu, mengapa ia berbuat seperti ini? Alex sendiri tak tahu jawabannya. Tetapi ia memperhatikan gerak – gerik kakak adik itu. “Apa? Alex?” Terdengar Rin menyebut nama Alex ketika Steve menunjuk ke arah luar dapur. “Aku sedang memasak untuk makan malam. Mengapa kakak tidak mengajak Alex duduk di ruang tengah?” Steve mengangkat bahu lalu menopangkan wajahnya di bahu Rin. Matanya memperhatikan semua yang dilakukan Rin. Rin tidak melarangnya, entah mengapa. Hal yang langsung terbersit di pikiran Alex ada dua. Yang pertama, mungkin Rin nyaman dengan keadaan seperti itu. Hal yang kedua, ia tidak bisa melarang Steve sama sekali. Sebenarnya hal kedua itu lebih masuk akal jika melihat kondisi Steve. Tetapi entah mengapa Alex seperti ingin mempercayai pikirannya yang pertama. “Hei, kak. Kau sayang aku tidak?” Rin tiba – tiba berbicara seperti itu lalu tertawa kecil. Steve mengangguk lalu memeluk Rin dari samping. Ia terus memeluk Rin walau Rin berjalan kesana kemari untuk menaruh piring dan sebagainya. Rin hanya menggeleng – gelengkan kepalanya melihat kelakuan Steve yang tidak ingin lepas darinya. Hingga akhirnya Rin melepas apron yang ia pakai lalu menggantungkannya di hanger yang berada di dapur. Rin pun meletakkan piring - piring berisi ayam goreng di dekat meja, lalu berdiri dengan bersender pada meja dapur lalu melihat Steve yang berdiri di hadapannya. Steve tiba – tiba mengulurkan tangannya dan memegang wajah Rin. Ia melihat luka cakar yang terlihat masih membekas karena tangan Steve. Tiba – tiba air muka Steve berubah muram. Steve menundukkan kepalanya. Ia menurunkan tangannya. Sepertinya ia merasa sangat bersalah. Rin pun membelai rambut Steve perlahan. Seperti yang sering Ibunya lakukan dulu ketika ia masih ada. Ah. Tiba – tiba Rin jadi teringat Ibu dan Ayahnya. Juga.. Rumahnya yang dulu. “Aku sudah tidak apa – apa, kok. Ini tidak sakit.” Kata Rin sambil tersenyum. “Ingat, hati – hati terhadap tanganmu.” Kata Rin lagi Steve lagi – lagi memandang Rin dengan tatapan polosnya lalu memandang kedua tangannya yang ia angkat. Setelah itu ia memandang Rin lagi. “Maksudnya, gunakan tangan kakak dengan baik. Kakak bisa menggunakan tangan untuk bermain piano, untuk memasak. Kakak mengerti?” Tanya Rin seraya ia tersenyum lagi. Steve menganggukkan kepala lalu menurunkan kedua tangannya. Ia tersenyum melihat senyum Rin yang benar – benar indah seperti bunga di taman. Tiba – tiba ia mencium pipi kanan Rin yang terdapat bekas luka lalu memeluknya erat. Rin hanya membelai rambut Steve lagi sambil menepuk – nepuk punggung Steve. Rin sama sekali tidak boleh menggunakan kalimat “Jangan” atau “Tidak” pada Steve. Karena menurut dokter, penderita autisme akan merasa tertekan dan malah semakin melakukan hal yang dilarangnya, jadi sebaiknya Steve di beritahu dengan cara yang halus. Karena pada dasarnya, penderita autisme itu tidak bisa dilarang, dan sangat sulit diberitahu. Rin semakin teringat pada Ibunya. Dulu jika Rin terluka, pasti Ibu mencium lukanya. Ah, tiba – tiba perasaan rindu Rin pada ibunya semakin meluap. Rin memeluk Steve dengan erat lalu membenamkan wajahnya di pelukkan Steve. Rin tidak menangis, ia hanya diam. Ia tak bisa menangis di hadapan Steve. Tidak.. Tidak bisa. Rin terus menahan air matanya walau matanya sudah merah dan dadanya sangat terasa sesak. Sepertinya mereka sama sekali tidak sadar kalau Alex melihatnya. Semua yang daritadi mereka lakukan, semua terlihat jelas oleh Alex. Dari dalam hatinya seperti muncul rasa panas. Tetapi Alex berusaha bersikap biasa – biasa saja. Sebenarnya Steve dan Rin sama sekali tidak bisa disebut kakak adik. Mereka sama sekali tidak terlihat seperti itu. Mereka lebih jelas terlihat sebagai sepasang kekasih. Ya. Alex tidak salah lagi. Tak lama kemudian, Rin pun melepaskan pelukkan Steve lalu membuat senyum palsu. Ia membelai rambut Steve lagi lalu membawa keluar piring – piring berisi makanan tadi. Alex pun langsung kembali ke ruang tamu sebelum ketahuan bahwa daritadi ia menguntit Rin dan Steve. Rin berjalan ke ruang tamu dan menemui Alex yang sudah berada di posisi awal dan sedang meminum teh lemonnya. “Kak, sebelum pulang. Makanlah dulu.” Kata Rin, lalu ia berlalu dari hadapan Alex. “Eh, Rin tunggu.” Tiba – tiba Alex menahan tangan Rin. Rin pun menengok ke arah Alex. Badannya serasa kaku ketika disentuh oleh Alex. “Ya?” “Soal yang kemarin. Aku.. Aku minta maaf.” Kata Alex ragu. Ia agak menunduk, takut bahwa Rin masih marah. “Ah, sudahlah. Jangan dibahas lagi, kak.” Kalimat itu cukup membuat Alex lega. Ya, setidaknya untuk saat ini. 
*** Rin menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, sudah pukul 22.00 malam. Alex sudah pulang, dan Steve pun juga sudah terlelap. Sekejap, Rin menatap langit – langit kamarnya yang gelap. Hanya ada cahaya bulan yang menyinari kamarnya melalui jendela. Ia masih Lalu ia segera menarik selimutnya dan meletakkan telepon genggamnya di meja kecil di samping tempat tidur. Hampir saja ia tertidur pulas jika teleponnya tidak berbunyi. Dengan mata setengah mengantuk, Rin membaca nama yang terpampang di layar putih teleponnya yang menusuk mata. Nomor tak dikenal. Siapa? Malam – malam begini? “Halo?” Rin mengangkat teleponnya dengan nada setengah mengantuk. “Rin, bisa datang ke kantor polisi?” Terdengar suara dari sana “Ayah?” ***

Endless Part 2

Suasana hening, tak ada suara apapun yang muncul dari ruangan tersebut. Lampu – lampu sudah mulai dimatikan, hanya tersisa dua lampu yang menerangi ruangan tersebut. Rin duduk di kursi dan di sebelahnya ada Steve yang juga duduk di kursi. Di seberang Rin duduk, ada Alex yang juga duduk sambil menopang wajahnya dengan kedua tangannya. Mereka bertiga larut dalam pikiran mereka masing – masing. Hingga akhirnya helaan nafas Alex membangunkan mereka dari lamunan pribadi mereka. Mereka berada di dapur restoran tempat Rin bekerja. Sudah pukul 23.00 sekarang, semua karyawan sudah pulang ke rumah mereka masing – masing. Restoran sudah sepi, karena kebetulan hari ini giliran Alex piket, maka ia yang bertanggung jawab untuk mengunci restoran ini. Sekarang sudah tidak ada siapa – siapa lagi, hanya tinggal Rin dan Alex serta Steve yang masih berada disini karena mereka bercerita tentang masalah tadi pagi. Sejujurnya Rin masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi. Berkali – kali ia mencubit tangannya, berharap bahwa ia masih tertidur atau bermimpi. Tapi ini sama sekali bukan mimpi. Ini kenyataan yang menyakitkan. Lalu, Steve juga.. “Jadi, malam ini kau pulang kemana?” Terdengar suara Alex pelan pada Rin, membangunkan Rin dari lamunannya yang entah dimana ujungnya. Rin terdiam, ia tak menjawab. Ia hanya mendesah pelan. Ia lalu memperhatikan Steve yang sedang terdiam dengan tatapan kosong. Lagi – lagi tatapan kosong. Pasti Steve sangat terguncang sekarang hingga ia tidak bisa fokus sama sekali seperti dulu. Rin lalu menundukkan kepalanya dan mendesah lagi. “Aku tak tahu.” Kata Rin sambil menggigit bibirnya pelan pertanda bahwa ia bingung. “Jujur saja aku masih tak percaya, kalau Ayah..” Setelah kejadian pagi itu, Rin pergi ke restoran bersama Steve. Ia tetap bekerja dengan biasa dan beralasan bahwa tak ada yang menjaga kakaknya dirumah. Dan sewaktu sudah jam pulang kerja. Ia menceritakan semuanya pada Alex, si chef itu. Alex adalah tipe laki – laki yang perhatian dan bisa menjaga rahasia, jadi Rin berpikir rahasianya akan aman jika ia bercerita pada Alex. Dan ia juga bingung harus bercerita pada siapa. Sebersit pikiran muncul, ia bisa bercerita pada temannya disekolah. Tapi, untuk sekarang tidak mungkin.. “Hmm..” Alex berpikir lagi. “Sebenarnya aku bisa membantu..” Katanya. Rin mengangkat kepalanya lalu melihat Alex dengan wajah berharap. Membuat laki – laki itu menjadi sangat kasihan. Tidak, tidak. Ini bukan air muka Rin yang dibuat – buat. Tetapi Rin memang sangat berharap pada Alex, walau hal itu ia sembunyikan. “Aku baru saja membeli apartemen di pusat kota. Yah.. Kalau kau mau, kau bisa tinggal disana.” Kata Alex perlahan, takut bahwa Rin akan tersinggung. “Eh?” Rin kaget. “Jadi aku satu tempat tinggal dengan kakak?” “Bukan, bukan.” Alex menjawab cepat sambil mengibaskan tangannya. “Bukan itu maksudku. Aku baru saja membeli apartemen itu dan belum ada penghuninya. Ehem.. Cicilannya baru lunas kemarin.” Alex tersenyum simpul. Membuat Rin agak bingung dengan prilakunya. “Aku baru memindahkan barangku saja kesana, aku sementara ini masih tinggal di rumah Ayah dan Ibuku. Ya, selama itu mungkin kau bisa tinggal disana dulu.” Lanjut Alex lagi kembali ke benang merahnya. Mata Rin langsung bersinar mendengar perkataan Alex tadi. Matanya yang awalnya menyiratkan kesedihan sekarang berubah. Begitu juga dengan air mukanya. Walau masih ada keraguan dan rasa tidak enak dari dalam dirinya. Tapi ia sendiri juga membutuhkan bantuan, tak mungkin ia menolak bantuan Alex bukan? “Benarkah, kak?” tanya Rin dengan nada bersemangat. “Ya. Tinggalah sesukamu, anggap saja rumahmu sendiri.” Laki – laki tampan itu tersenyum lalu menepuk – nepuk kepala Rin. “Nah, hari sudah malam. Sebaiknya aku antar kau dan Steve ke apartemenku.” *** Satu minggu berlalu semenjak kejadian itu. Rin sekarang tinggal di apartemen Alex bersama dengan Steve. Apartemen itu memang masih berantakkan, banyak kardus disana – sini. Karena itu Rin bertekad untuk membantu merapikannya sebagai rasa terima kasih Rin pada Alex yang telah membantunya. Tetapi ia tidak bisa selamanya tinggal disini. Perlahan ia akan mengumpulkan uang untuk menyewa rumah kecil di pinggiran kota. Ini kota Jakarta, tak ada yang murah. Biaya hidup sangat mahal disini. Begitu juga biaya sekolah. Rin yang masih duduk di kelas 3 pun masih perlu banyak uang untuk sekolahnya. Untung saja sebentar lagi ia lulus. Jadi mungkin bebannya akan berkurang sedikit. Rin sedang duduk di depan komputer milik Alex setelah ia selesai merapikan kardus – kardus dan menata rumah baru yang tidak terurus itu. Memang belum rapi sepenuhnya, tapi setidaknya sudah lebih baik sekarang. Kalau dulu jalan saja susah, sekarang lebih baik. Tak apa lah. Rin menatap layar putih komputer itu dan memainkan jarinya di atas keyboard komputer itu. Ia sedang sibuk membuka internet dan mencari artikel tentang autisme. Semua ini dilakukan untuk kesembuhan Steve. Ya, Rin tidak bisa melihat Steve seperti ini terus. Dan sebenarnya ia agak penasaran juga dengan perkataan Alex. Ia ingin membuktikannya. “Autisme. Bisa disembuhkan..” Baca Rin cepat ketika melihat ada tulisan terpampang di layar putih itu. Rin segera menggerakkan mousenya dan membuka artikel tersebut. Tak lama kemudian pun gadis itu sudah sibuk dengan komputer dan artikelnya tersebut. Sementara itu, Steve sedang duduk di kursi yang berada di dekat jendela. Sambil mengaduk – aduk jus jeruk yang Rin buat dengan sendoknya. Steve memandang kosong keluar jendela. Hal yang sangat memprihatinkan. Karena kata dokter beberapa hari yang lalu, Steve butuh perawatan dan perhatian lebih lagi karena mentalnya sangat terganggu. Beruntung dia tidak menjadi gila atau menderita autis permanen. Tetapi hal ini cukup mengguncang Rin dan sepertinya Steve sangat frustasi karena tidak bisa memainkan piano putih kesayangannya itu. Steve lalu menatap meja kayu coklat itu. ia menggeser gelas berisi jus jeruk itu. ia memandang meja itu dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian, jari – jari Steve sudah berada di atas meja tersebut, lalu jari – jari itu mulai menari membentuk sebuah melodi dan irama. Steve berkhayal bahwa meja itu adalah pianonya dan sejak saat itu, hal itulah yang dilakukan Steve untuk menghabiskan waktunya yang tak digunakan untuk apapun juga. *** Alex berjalan menyusuri lantai 5 apartemen itu. Ia berjalan santai dengan membawa kantong plastik berisi makanan yang dipegang oleh tangan kanannya. Ia baru saja membeli makanan untuk Steve dan Rin di apartemennya. Ia berdiri di depan kamar apartemen yang merupakan kamarnya. Ia lalu membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci. Alex terkaget, ketika melihat apartemennya sudah lebih rapi dari terakhir ia datang kesini. Lantainya sudah bersih, begitupun kardus – kardus nya sudah di letakkan di pinggir dan tertata rapi. Ia melihat tak ada siapapun di ruang tamu. Ia pun menaruh kantong plastik berisi makanannya di meja ruang tamu. Dengan masih berdecak kagum ia berjalan ke ruang tengah. Di lihatnya Steve sedang duduk di kursi dekat jendela sambil sibuk dengan jarinya. Entah apa yang dilakukannya, tetapi dari beberapa hari lalu saat Alex datang, Steve sudah seperti itu. “Rin?” Alex akhirnya bersuara. Harusnya suara itu membuat Steve menengok. Tapi ternyata tidak. Steve masih sibuk dengan mejanya. Tak lama kemudian Rin pun keluar dari kamar dengan membawa beberapa lembar kertas dan membacanya tanpa melihat kedepan. “Hei.. Hei.” “Eh.” Rin mundur satu langkah, hampir saja ia menabrak Alex jika Alex tak bersuara lagi. Kertas yang dipegangnya terjatuh karena kaget. Ia langsung memungutnya cepat sambil melihat laki – laki tinggi yang berdiri di hadapannya itu. Rin jadi salah tingkah. Ia malu sekali atas kecerobohannya itu. Tapi Alex hanya tersenyum manis. “Kau yang merapikan kardusnya?” Tanya Alex. “Eh?” Rin yang masih menenangkan diri agak kaget tiba - tiba ditanya seperti itu. “Iya, tapi belum selesai, sih.” Lanjutnya. “Hei, siapa yang minta untuk dirapikan?” “Yahh..” Rin memanjangkan ujung katanya sambil mencari kata baru untuk menjawab pertanyaan Alex. “Tidak ada, sih.” Alex lalu berjalan keruang tamu diikuti oleh Rin dan membuka kantong plastik berisi makanannya tadi, ia mengeluarkan minuman kaleng dari sana dan mengambil beberapa snack biskuit untuk cemilan. Lalu Alex duduk di sofa bersama dengan Rin. “Sedang apa kau tadi? Apa aku mengganggumu?” Tanya Alex sambil membuka minuman kalengnya. “Tidak, ini kan rumah kakak. Masa kehadiran kakak mengganggu.” Kata Rin sambil memberikan kertas yang ia pegang pada Alex. “Aku baru saja mencetaknya. Artikel ini kucari tiga hari yang lalu.” Alex membaca kertas tersebut. Ia lalu tersenyum lagi. Autisme. Ternyata Rin benar – benar mencari artikel itu. Berarti harusnya Rin mengerti sekarang. Di kertas itu tertulis banyak artikel tentang autisme. Dari penjelasan tentang autisme sampai bagaimana cara menyembuhkan penyakit autisme sendiri. “Benar, kan kataku. Autisme bisa disembuhkan.” Simpul Alex setelah selesai membaca artikel di kertas tersebut. Rin mengangguk, ia pun juga mencermati lagi kertas yang ia tadi berikan ke Alex. Selagi Alex membuka isi kantongnya lagi. Ia memulai pembicaraan lagi. “Tadi, kakakmu..” Alex agak ragu untuk mengungkapkan isi hatinya. “Dari beberapa hari yang lalu, ia terus memandangi meja dan memainkan jarinya.” Rin menahan nafasnya, ya itu. Bukannya Rin tak sadar, Rin sangat sadar bahwa kakaknya itu sedang menganggap bahwa mejanya itu piano. Tetapi Rin tidak bisa berbuat apa – apa lagi. Rin tak mungkin menghentikannya, ia tak tega melihat kakaknya sedih jika Rin menghentikannya. Ia menatap Alex yang mencerminkan wajahnya dengan penuh tanda tanya. “Yah, begitulah.” Rin menghembuskan nafasnya berat. Alex seakan mengerti. Ia tak bertanya lebih jauh lagi. Suasana hening sejenak. Suasana canggung meliputi mereka berdua. Sepertinya Alex salah bertanya. Ia pun mencari – cari topik pembicaraan lain sambil mencari – cari sekotak kopi bubuk instan yang tadi ia beli di kantong tadi. “Ah, kopinya tidak ada.” Kata Alex spontan. “Biar aku yang beli.” Kata Rin cepat, ia lalu bangun dari tempatnya duduk. “Eh, tidak usah.” “Tidak apa – apa, aku juga ingin membeli sesuatu di swalayan.” Kata Rin sambil tersenyum. Ia lalu beranjak dari ruang tamu ke ruang tengah, tak lama kemudian ia kembali ke ruang tamu dengan sudah memakai jaket dan menggandeng tangan Steve. “Kau pergi berdua dengan Steve?” Tanya Alex. “Apa tidak repot jika membawanya?” Alex lanjut bertanya. “Tidak apa – apa kok. Sudah lama aku dan kak Steve tidak pergi ke swalayan bersama, lagipula, jika kak Steve ingin membeli sesuatu ia bisa langsung minta padaku, kan?” Rin melempar senyum manisnya pada Alex. “Apa tidak sebaiknya kita pergi bertiga saja?” Alex menawarkan diri. Ia sudah mengambil jaketnya dan hendak memakainya. “Tidak usah, kak. Aku butuh waktu berdua dengan kak Steve.” Rin menolak tawaran Alex dengan agak keras. Alex tertegun mendengar perkataan gadis itu. Tadi itu merupakan penolakan yang cukup membuat Alex bingung. Mengapa Rin menolak begitu kerasnya? Tapi Alex tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin setelah tragedi itu, Rin dan kakaknya hanya ingin memiliki waktu berdua apa lagi melihat kondisi Steve yang seperti itu. Alex pun tidak melanjutkan penawaran tadi. Ia menaruh jaketnya lagi di sofa. Jika alasannya memang seperti yang Alex pikirkan, ia mengerti mengapa Rin berbicara seperti itu. Ia akhirnya tersenyum. “Baiklah, hati – hati. Cepat pulang.” “Ya, aku pamit.” Rin tersenyum lagi lalu berlalu dari hadapan Alex. Tak lama kemudian terdengar bunyi pintu ditutup dan suara langkah kaki yang makin lama makin hilang ditelan keramaian kota Jakarta. Siang hari yang cerah, tak terlalu panas, tapi juga tak mendung. Rin berjalan berdua bersama Steve menyusuri trotoar panjang. Letak swalayan tidak terlalu jauh dari apartemen Alex. Jadi mereka pergi berjalan kaki. Sesekali Rin melihat kakaknya yang memegang ujung jaket Rin sedari tadi, ia hanya terdiam dengan pandangan mata kosong. Seakan – akan raganya saja yang ada. Tetapi jiwanya entah pergi kemana. Beberapa orang memperhatikan Rin, ketika Rin lewat bersama Steve. Ya, lebih tepatnya melihat ke arah Steve. Tapi Rin berusaha untuk tak memikirkan pandangan – pandangan itu. Untuk apa dipikirkan, Rin sudah sangat mengerti mengapa Steve diperhatikan seperti itu. Ya, sudah sering Rin pergi bersama Steve dan hampir selalu diperhatikan oleh orang – orang sekitar. Rin mempercepat langkahnya menuju ke swalayan. Ia tak ingin diperhatikan oleh orang – orang seperti itu lagi. Rasanya tidak enak. Rin meyakinkan hati kecilnya. Steve normal. Ia tidak sakit.. Rin tiba di depan gedung besar bercat putih bertuliskan nama pasar swalayan tersebut. Rin pun masuk lalu mengambil keranjang belanja untuk digunakan di dalam. Di dalam sangat ramai karena sedang ada diskon besar – besaran. Rin berjalan menuju koridor bertuliskan “Susu dan Kopi”. Ia lalu melihat – lihat kopi yang kira – kira Alex suka. Juga susu untuknya dan Steve. Rin mengambil sebuah kotak susu berukuran 500 gram lalu bertanya pada Steve. “Nah, kak. Mau susu coklat atau..” Rin menghentikan kata – katanya ketika menengok dan tersadar bahwa Steve tidak ada di sampingnya dan memegang ujung jaketnya lagi.
*** Alex hampir saja tertidur di sofa ruang tamu ketika telepon genggamnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. Ia melihat sebuah nama penelepon terpampang di layarnya dengan mata ngantuknya. Rin. Bacanya singkat. Dengan segera ia pun mengangkat teleponnya sebelum teleponnya mati karena tidak diangkat. “Halo.” Terdengar suara laki – laki itu. “Tolong, kak. Kak Steve..” Suara Rin terdengar putus – putus di telepon. “Steve?” “Kak Steve hilang.” Seakan ada petir menyambar Alex saat itu juga. Rasa kantuk Alex langsung menghilang, matanya melebar karena kaget, ia langsung terbangun dari tempatnya bersender. “Kau dimana?” Seketika itu juga, Alex langsung menyambar jaketnya dan pergi keluar apartemennya untuk menyusul Rin. Ia berlari – lari seperti orang bodoh, sementara Rin masih berbicara di telepon. Ia tidak ingin temannya itu khawatir. Teman? Iya teman. Untuk sekarang teman. Apa? “Terakhir, kau melihat Steve dimana?” Kata Alex lagi. Alex berhenti berlari ketika sayup – sayup ia mendengar suara piano indah yang sekejap langsung menghipnotis dirinya, hingga ia tak mendengar jawaban Rin di telepon. Indah.. Permainan piano siapa itu? Sekejap Alex seakan lupa bahwa ada urusan yang lebih penting daripada mencari pemain piano itu. Tapi Alex lalu berbelok ke kanan, seharusnya Alex berjalan lurus untuk menuju swalayan tadi. Tapi ia malah berjalan sambil menengok ke kanan dan ke kiri, mencari asal suara piano itu. Hingga Alex berhenti pada sebuah toko musik. Suara indah itu berasal dari toko musik dan yang lebih mencengangkan lagi. “Rin, sebaiknya kau kesini. Dan melihat apa yang kulihat.” Sementara itu, Rin pun semakin bingung mendegar kata – kata Alex tersebut sebelum telepon itu dimatikan. Rin tidak mengerti sama sekali dengan apa yang di katakan oleh Alex tadi. Mengapa Alex tiba – tiba mematikan teleponnya? Ada apa? Rin tetap berjalan menyusuri trotoar dengan jari yang sibuk menekan tombol telepon sampai akhirnya Rin juga mendengar apa yang tadi Alex dengar. Suara piano. Seketika Rin mematung di tempat. Ia tau ini lagu apa. Rin berhenti menekan tombol telepon genggamnya dan memasukkan benda itu ke kantong jaketnya. Ia terus berjalan mengikuti suara indah tersebut. Hingga pada akhirnya Rin berhenti pada sebuah toko musik. Ada sosok Alex di sana, ia sedang melihat kedalam toko musik itu dari luar. Dan tidak hanya Alex sendiri yang berdiri. Sudah ada beberapa orang lain yang berdiri dan mengarahkan pandangan mereka ke satu arah yang sama. Jangan – jangan? Rin mengarahkan pandangannya ke dalam toko musik itu, terlihat jelas seorang laki – laki sedang bermain piano yang di pajang di bagian depan toko musik yang hanya dilapisi kaca. Rin bisa melihat jelas pemandangan indah itu. Sinar matahari yang menembus kaca depan toko musik itu, membuat piano dan pemainnya seakan terlihat berkilau. Ini lah sosok yang pertama kali baru di lihat oleh Rin. Steve Christanto. Kakak Rin itu sedang bermain piano dengan lihainya di dalam toko musik itu. Permainan yang sangat indah dan membuat beberapa orang yang lewat berhenti di depan toko musik dan berdecak kagum dengan permainan itu. Steve jelas bukan penderita autisme, ia normal. Steve memiliki bakat luar biasa. Sosoknya saat bermain piano, sama sekali bukan sosok orang yang memiliki keterbelakangan mental. Rin baru sadar jelas sekarang. Nada lagu yang entah apa judulnya itu terdengar sangat indah. Jari – jari Steve melompat kesana kemari memainkan melodi – melodi berikutnya. Benar – benar indah.. Tanpa cela.. Rin sangat menyukai lagu tidak dikenal ini. Benar, ia sangat menyukainya.. Ketika Steve berhenti bermain. Penonton yang terhipnotis itu langsung bertepuk tangan riuh rendah di trotoar tersebut. Membangunkan Rin dan Alex yang masih terhipnotis dengan permainan indah Steve. Tak lama kemudian, kerumunan orang – orang itu bubar dan hanya tersisa Alex dan Rin yang masih berdiri mematung karena sangat terpukaunya. “Kau lihat, Rin. Itu kakakmu.” Kata Alex dengan nadanya yang terdengar sangat kagum. Rin mengangguk lalu ia bersama Alex masuk ke toko musik tersebut. Toko musik yang terlihat sangat indah dan mahal itu didominasi oleh warna emas dan putih. Benar – benar indah. Tentu saja, ini pusat kota Jakarta. Tak ada yang jelek. Semua serba mahal, mewah dan indah. Di sisi kiri terdapat banyak alat musik gesek, seperti biola, cello dan lainnya. Sementara di sebelah kanan terdapat bermacam – macam jenis gitar, bass dan alat musik petik lainnya. Rin menahan nafasnya ketika melihat dua orang yang berada di dekat sebuah meja coklat besar. Mungkin akan muncul masalah besar. Sang pemilik toko bersama karyawannya sudah menunggu dan berdiri dengan melipat kedua tangannya di dada. Rin mengerti, pasti kehadiran Steve begitu mengganggu pemilik toko tersebut. Apa lagi piano adalah barang mahal. Bagaimana kalau sampai rusak? Sang pemilik toko itu masih muda, umurnya mungkin seumuran dengan Rin. Yah, mungkin itu anaknya pemilik toko atau apapun itu. Tetapi tetap saja, Rin tidak enak dengan hal yang barusan terjadi tadi. Walau sebenarnya Rin juga sangat terpukau dengan Steve tadi. “Maaf, kak. Kakak saya telah mengganggu kenyamanan anda.” Rin meminta maaf dengan menundukkan kepala. Sambil berharap semoga pemilik tokonya tidak marah. “Tidak apa – apa.” Terdengar suara ramah dari pemilik toko tersebut. Rin sepertinya bisa bernafas lega mendengar nada bersahabat dari sang pemilik toko. Sepertinya ia terlalu paranoid tadi. Pemilik toko itu sepertinya baik. Steve yang melihat Rin dan Alex langsung menghampiri mereka berdua dengan mata bersinar. Pandangannya tak lagi kosong. Sepertinya ia sangat puas bisa bermain piano seperti sedia kala. Steve tersenyum pada Rin. Ini lah senyum pertama Steve setelah senyumnya menghilang sejak beberapa minggu yang lalu. “Tadi, kakakmu masuk ke toko musik ini. Ku pikir ia mau membeli piano tersebut karena sudah agak lama ia berdiri di luar toko sebelum akhirnya masuk ke sini.” Jelas si pemilik toko. “Awalnya karyawanku tak mengizinkannya bermain, tapi melihat permainannya yang indah, jujur saja aku terhipnotis. Baru kali ini aku melihat seniman dari dekat.” Pemilik toko itu menahan tawanya. “Apa ia seorang pianis?” Deg! Serasa seperti jantung Rin berdetak kencang hingga membuat dadanya sakit. Pianis? Jujur saja Steve memang punya bakat seperti itu. Tetapi untuk dikembangkan rasanya sangat sulit. Yah, andai saja Steve tidak seperti ini, pasti ia sudah berada di panggung – panggung broadway untuk mengadakan konser – konser klasik besar. “Bukan.” Kata Rin sambil menahan nafasnya. Sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini kemana. “Lalu?” Sepertinya si pemilik toko sangat berharap banyak. Apanya yang lalu sih? Apa lagi yang harus Rin jawab. Rin menggigit bibirnya tanda gugup. Air mukanya berubah. Tapi sepertinya Alex bisa membaca air mukanya. “Dia tidak bekerja. Karena ada kekurangan khusus.” Kata Alex akhirnya. Rin bisa bernafas lega setelah mendengar Alex berbicara seperti itu. Walau itu bukan jawaban baik, setidaknya ia lega karena bukan ia sendiri yang harus mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Ia melihat pemilik toko yang masih muda itu mengangguk – anggukkan kepalanya. “Hem.. Bagaimana kalau aku tawari dia pekerjaan? Dia sangat berbakat.”***

Endless Part 1

Pagi yang hening di musim hujan, langit mendung kelam pertanda akan turun hujan lagi pagi ini. Sayup – sayup terdengar bunyi bergemuruh dari langit yang sudah diselimuti oleh awan hitam. Udara dingin mulai bertiup makin kencang dibanding sebelumnya. Gemerisik daun – daun dan ranting – ranting pohon yang beradu menimbulkan suara yang tidak terlalu keras. Entah ada apa dengan pagi hari ini. Pagi ini bagaikan sore saja. Langit sama sekali tak memberikan kesempatan sama sekali pada matahari untuk bersinar dan memberikan kehangatan pagi pada insan – insan yang merindukannya. Di suatu perumahan elite di bilangan Jakarta Selatan, terdapat sebuah rumah dua lantai yang cukup besar dan berada di sisi kanan jalan. Rumah yang didominasi dengan warna peach dan dikelilingi dengan pagar berwarna emas tersebut terlihat kokoh berdiri. Sekilas rumah ini tidak berbeda dari rumah – rumah megah lainnya. Jika dibandingkan dengan rumah – rumah lainnya, sebenarnya masih banyak rumah lain yang lebih megah dari rumah ini. Tapi disinilah sebuah kisah kehidupan yang indah dimulai. Di rumah itu, seorang gadis cantik terlihat sedang berada di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk pagi ini. Suara gas kompor yang menyala, air yang mendidih dan bunyi peralatan dapur yang beradu memecah keheningan pagi yang kelam ini. Sekejap saja, harumnya aroma masakan dari gadis itu sudah menyebar ke penjuru rumah dan menggelitik perut – perut yang sudah mulai lapar. Gadis ini memang sangat pandai memasak. Gadis itu sepertinya sudah selesai memasak, terlihat ia sedang berjalan menuju meja makan lalu meletakkan piring – piring berisi makanan yang sudah disiapkannya sejak tadi. Selanjutnya kompor dimatikan dan bunyi – bunyi itu pun hilang ditelan pagi. Gadis itu menatap meja makan yang semula kosong itu seraya tersenyum simpul. Sekarang di atas meja sudah ada dua buah piring berisi nasi, dua mangkuk kecil dan satu mangkuk besar berisi masakan berkuah yang ia masak tadi, ada satu piring lagi berisi lauk serta dua gelas susu putih. Gadis itu lalu melepaskan apron yang ia pakai tadi dan menggantungnya di sebuah hanger di sebelah kiri dapur. Lalu ia berjalan menjauhi ruang makan dan menuju sebuah pintu yang merupakan pintu kamar. Dibukanya pintu itu dan terlihatlah sosok seorang laki – laki yang sedang duduk di sebuah kursi yang ada dikamarnya. Ia sepertinya sedang melamun. “Kak..” terdengar suara gadis itu memecah keheningan di kamar itu. Laki – laki itu menengok ke arah gadis itu. Seorang laki – laki berumur 21 tahun tersenyum melihat kehadiran gadis yang ia sayangi. Seorang adik perempuan yang tak pernah pergi sedikitpun dari sisinya. Pengganti sosok seorang Ibu yang telah meninggalkan dirinya dan adiknya dua tahun yang lalu. Steve, laki – laki tampan itu berjalan mengikuti adiknya yang menuju ke ruang makan untuk sarapan pagi. Dari jauh sudah tercium aroma sup yang sangat menggoda selera yang dimasak oleh adiknya itu. Steve pun langsung menghapiri meja makan dengan berlari – lari kecil layaknya anak umur 5 tahun yang melihat kue favoritnya. Ia duduk di meja makan bersama adiknya. Ternyata tidak hanya ada sup. Ada juga omelet favoritnya. Serta ada segelas susu putih. Begitu senangnya ia. Semua makanan favoritnya berada di satu meja. Ia segera duduk dan menatap makanan di piring – piring itu dengan menahan air liurnya. Sesaat, mereka mulai makan dalam hening. Tak ada suara apapun di rumah itu, hanya ada bunyi denting peralatan makan yang beradu dengan piring. Tak ada suara Steve, juga suara Rin adiknya itu. Rin dan Steve hanya tinggal berdua, Ayah mereka jarang pulang ke rumah akhir – akhir ini karena sibuk mengurus pekerjaannya yang sedang dilanda masalah keuangan. Sedangkan Ibu sudah tidak ada sejak dua tahun lalu. Ibu meninggal karena menderita sakit liver parah yang sudah ia derita dari muda. “Hari ini aku lembur, kak” terdengar suara Rin lagi. Kakaknya melihatnya lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Rin pun tersenyum manis membalas senyum kakaknya. Setelah mereka selesai sarapan, Rin langsung bersiap – siap untuk berangkat ke sekolahnya yang berlokasi lumayan jauh dari rumahnya. Jika dengan jalan kaki, kira – kira membutuhkan 30 menit. Tapi jika naik bus, 10 menit kurang lebih juga sudah sampai. Setelah ia pulang sekolah, ia akan pergi berkerja part time di sebuah restoran asing yang terkenal di dekat sekolahnya. Sebenarnya anak sekolah tidak boleh bekerja, tetapi Rin terpaksa karena ia ingin membantu keuangan ayahnya. Lagipula, Steve masih harus menjalani terapi untuk menyembuhkannya dan itu sangat membutuhkan biaya banyak. Belum lagi harus membayar pengurus yang menjaga Steve jika Rin pergi. Sepertinya semua memang berat untuk dijalani. Tapi tak ada gunanya juga jika kita berpangku tangan, uang tak datang begitu saja bukan. Jadi satu – satunya jalan adalah berusaha mencari solusi sambil berharap keuangan di perusahaan Ayah akan membaik.
*** Hari cepat berlalu, sudah sore, setelah Rin keluar kelas ia langsung mencari kendaraan umum untuk pergi ke restoran tempatnya bekerja. Langit sekarang sangat cerah. Matahari bersinar begitu teriknya, tidak ada awan sedikitpun. Cukup mengejutkan karena langit tadi pagi seakan menunjukkan bahwa akan hujan seharian, tapi ternyata tidak. Jam menunjukkan pukul 15.30 ketika Rin sampai di restoran. Restoran belum terlalu ramai. Hanya ada sekitar lima belas orang yang datang dan sedang menyantap makanan mereka. Sudah lewat jam makan siang, jadi wajar saja kalau restoran ini sepi. Biasanya, restoran ini ramai ketika jam makan siang dan jam makan malam, juga ketika akhir minggu dan hari libur. Restoran ini sudah berdiri sejak lama dan sangat terkenal dengan masakan Baratnya, juga terkenal dengan masakan fusion gabungan antara masakan Barat dengan masakan Indonesia. Rin berjalan menuju sebuah ruangan yang bertuliskan “Staff Only” pada pintu tersebut. Ia membuka pintu tersebut lalu berjalan lagi menuju sebuah loker berwarna hijau tua bertuliskan namanya lalu membukanya. Sebuah foto keluarga tertempel di belakang pintu loker tersebut. Terlihat ada empat orang di foto itu. Tapi Rin tidak memandang foto itu, ia segera mengambil pakaian waitressnya yang terlipat rapi di dalam loker lalu menutup loker itu dan menguncinya. Tak lama kemudian Rin segera masuk ke dapur setelah mengganti pakaiannya. “Sore, Rin.” Sapa seorang laki – laki yang merupakan seorang chef ketika ia memasuki dapur. Terlihat chef itu sepertinya sedang memakai apron putihnya. Mungkin ia juga baru saja sampai. “Ah, ia sore kak.” Jawabnya sambil melempar senyuman manis dari bibirnya. Rin lalu mengambil sebuah wadah besar untuk menaruh bahan – bahan makanan yang diperlukan untuk memasak nanti. Laki – laki itu berjalan mendekati Rin setelah ia selesai memakai apronnya, ia lalu membantunya mengeluarkan bahan makanan dari kulkas besar yang berada di bagian belakang dapur. Lebih tepatnya ruangan dengan pendingin yang bisa membuat kita beku sekejap. “Bagaimana kabar kakakmu?” tanya laki – laki itu sambil mengambil bahan makanan beku di kardus paling atas lalu memberikannya pada Rin. “Ya, begitu – begitu saja kak. Ia masih terapi.” Kata Rin sambil mengeluarkan bahan makanan yang lain. “Terapi? Biayanya besar ya?” “Ya, begitulah..” Rin mengangkat bahu lalu berjalan ke tempat lain untuk mengambil beberapa daging beku yang akan di olah nantinya dengan dibantu oleh laki – laki itu. Laki – laki itu bernama Alexander Daniel. Lelaki berkulit putih pucat dan tinggi yang merupakan seorang chef yang bekerja di sana. Laki – laki tampan yang wajahnya sedikit agak kebarat – baratan. Umurnya lebih tua 5 tahun dari Rin. Hampir sama umurnya dengan Steve. Ia chef muda yang sangat berbakat dan terkenal sangat mahir membuat dessert yang menjadi andalan di restoran ini. “Tetapi, bukankah autisme bisa disembuhkan tanpa dengan terapi?” tanya Alex lagi. “Apa? Memangnya bisa? Aku belum pernah mendengarnya?” Rin mengerutkan keningnya tanda tak percaya. Alex menghela nafas setelah menurunkan box besar yang agak berat. “Ya.” Katanya, “Bahkan ada beberapa kasus autisme yang saat kita sudah besar, tanda – tanda autisme itu menghilang.” Lanjut Alex. “Benarkah? Apakah itu benar?” Alex hanya tersenyum. Sepertinya gadis itu tidak mempercayainya sama sekali. “Mungkin kau harus membuka internet dan mencarinya disana. Baru kau bisa mempercayai kata – kataku.” Rin mengangkat alisnya. Ia lalu membawa keluar wadah yang sudah berisi berbagai macam makanan tadi bersama Alex. Sambil setengah melamun memikirkan perkataan Alex tadi. Memangnya bisa? Kasus dimana itu? Banyak pertanyaan mendatangi pikiran Rin saat itu. Baginya, sangat sulit untuk menyembuhkan autisme. Mental. Tak terlihat tapi rapuh. Bisa menggerogotimu dari dalam.
*** Sudah pukul 20.00 ketika Rin selesai bekerja hari ini, ia bergegas pulang dengan menenteng makanan yang diberikan Alex tadi sebelum ia pulang. “Untukmu dan kakakmu.” Begitu kata Alex tadi. Entah kapan ia memasaknya, tetapi Rin tidak bertanya. Ia berterima kasih kepada seniornya yang baik hati dan lumayan dekat dengannya itu. Dengan berlari – lari kecil, Rin menapaki jalan kecil menuju rumahnya. Penjaga Steve pasti sudah pulang. Pikirnya singkat. Apa Steve bisa menjaga diri dirumah? Dalam hati Rin menenangkan dirinya sendiri, Steve sudah biasa ditinggal. Harusnya ia bisa menjaga rumah. Steve sudah banyak di latih di sekolah khusus dan ia bisa mengerti apa yang kita bicarakan. Jadi ketika Rin berpesan jangan menyentuh kompor atau hal lain yang berbahaya harusnya Steve mengerti. Dan selama ini ia bisa menjaga diri di rumah walau tak ada pengurusnya. Merepotkan bukan jika Rin harus membawa Steve kemana – mana? Lagipula itu hal yang tidak mungkin dilakukan. Dari luar Rin melihat, lampu ruang tamu masih menyala. Steve mungkin belum tidur. Pasti ia menunggu Rin pulang. Selalu saja begitu. Semalam apapun Rin pulang, pasti Steve selalu menunggu di ruang tamu, walau Steve sering tertidur disana. Tetapi ia tidak akan masuk kamar untuk tidur sebelum Rin menyuruhnya. Setia? Lucu ya? “Kak, aku pulang.” Terdengar suara Rin dari teras depan rumahnya. Tak ada jawaban. Biasanya Steve langsung menghampiri Rin lalu memeluknya. Memeluknya? Ya, hal itu sudah biasa disini. Ibu dari kecil selalu memeluk kami dan Steve menirunya. Mau dilarang bagaimana? Masa kita harus merusak image bagus yang di tanamkan ibu kami. Rin berjalan masuk ke ruang tamu yang terlihat tak ada tanda – tanda kehidupan disana. Betapa kagetnya ia begitu melihat ruang tamunya berantakkan. Buku – buku berserakkan di lantai, bantal sofa terlempar kesana kemari, bahkan vas bunga sampai pecah! “Apakah rumahku kemalingan?” pikir Rin cepat. Belum selesai ia berpikir terdengar bunyi suara samar – samar dari kamar Steve. Dengan sigap ia langsung berlari ke kamar kakaknya, ia mengkhawatirkan keadaan kakaknya. Apapun yang ada di dalam kamar Steve ia akan menghadapinya apapun resikonya. Ini sudah tanggung jawabnya. Ada sesosok laki – laki separuh baya yang sedang memegang rotan yang berdiri membelakangi pintu ketika Rin datang. Tak lama kemudian laki – laki itu menengok ke arah Rin. Sepertinya ia menyadari ada kehadiran Rin disana. Rin melihat bahwa Steve berada di dekat tempat tidur, meringkuk ketakutan disana. Tetapi yang mengagetkan lagi adalah lelaki yang memegang rotan itu adalah Ayahnya! Wajah Rin langsung pucat pasi ketika melihat wajah Ayahnya seakan dipenuhi nafsu membunuh yang membara. Wajahnya merah tak karuan, helaan nafasnya berat dan tersengal – sengal membuatnya ragu, apa itu benar Ayahnya yang selama ini mendampinginya? “Ayah?” kata Rin kaget. “Rin! Ayah minta uang!” kata Ayahnya dengan nada setengah membentak. “Uang? Aku mana punya uang?” Rin masi bingung dan berusaha menenangkan dirinya. Tapi tiba – tiba kerah baju Rin ditarik oleh Ayahnya. “Jangan berbohong!” kata Ayah lagi sambil membentak. Sumpah, Ayah sudah kehilangan akal sehatnya! Terlihat jelas dari tatapannya. Ini bukan tatapan lembut Ayah yang selama ini terlihat bijaksana. Rin takut. Sangat takut. Takut kalau Ayahnya ini akan melemparnya bersama Steve keluar rumah. “A... Aku tak punya uang..” kata Rin lirih dengan penuh ketakutan. Lidahnya seakan kaku, tetapi ia berusaha tenang. Ini Ayahnya. Mengapa takut? Ia hanya “berbeda” dari yang biasanya. Ayahnya semakin emosi mendengar perkataan Rin. Ia benar – benar butuh uang sekarang. Untuk apa? Yah, sulit dijelaskan. Pokoknya penting. Entah mengapa ayahnya seperti tak waras setelah 2 bulan pergi keluar. Ayahnya meradang lalu mendorong Rin ke tempat Steve duduk. Steve melihat Rin terjatuh dengan wajah polosnya yang ketakutan, lalu Steve segera memeluk Rin. Ia pun takut melihat Ayah yang selama ini mencintainya berubah menjadi monster seperti ini. Sekujur badan Rin bergetar, bulu kuduknya meremang. Takut. Ayah kerasukan? Tidak mungkin. Itu kan hanya di film. Lagipula aku memang jujur. Jelas Ayah yang gila. Rin pun berusaha menenangkan diri. “Ayah! Mengapa Ayah seperti ini!” kata Rin keras. Ia berdiri dan melepaskan pelukan Steve. Tidak bisa seperti ini terus. Ayah jelas mabuk dan gila sekarang. “Kurang ajar kamu!” Plak! Dengan cepat terdengar bunyi tamparan yang keras sebelum Rin berbicara semakin jauh. Kaget. Shok. Itulah tamparan pertama yang pernah ia rasakan di hidupnya. Rasa sakit pertama yang diberikan oleh Ayahnya selama 17 tahun ia hidup. Dan ia merasakannya tanpa alasan yang jelas dan masuk akal? Gila. Saat itu juga Steve berdiri, mendorong Ayah keras lalu berdiri di tempat Rin yang masih mematung dengan kondisi shok. Tangannya direntangkan seakan – akan menghalangi Ayah untuk menyakiti Rin lebih jauh. Steve ingin melindungi adiknya! Bukan malah adiknya yang melindunginya. Entah dari mana hawa panas menyelimuti kamar Steve. Sesak. Rasanya ingin bebas dari tekanan. Ayahnya menarik baju Steve juga lalu berteriak keras di telinga Steve. Kalimat yang seharusnya tidak di dengar oleh Steve. “Dasar anak autis sialan!” teriaknya Sesudah itu ayahnya melepaskan Steve dan pergi keluar rumah dengar suara pintu di banting dengan keras. Autis? Aku autis? Mungkin itu yang ada di pikiran Steve saat itu. Autis itu apa? Mungkin itu perkataan lain yang terbersit di pikiran Steve. Steve tahu itu bukan perkataan baik. Ia kesal dan langsung bergegas mengejar Ayah yang sudah keluar. Tetapi keinginannya gagal karena Rin sudah menahannya dari belakang. “Kak! Cukup!” kata Rin keras sambil menarik tangan Steve. Steve tetap berusaha melepaskan diri sampai akhirnya tangan Steve mengenai wajah Rin. Keras. Mungkin lebih tepatnya mencakarnya tanpa sengaja. Saat itu juga Rin melepaskan tangannya yang sedari tadi menahan Steve. Steve menengok ke arah adiknya yang sudah duduk di tempat tidur. Entahlah harus bagaimana Steve juga tak tahu. Ia menghampiri kakaknya. Melihat wajah kakaknya yang lemas, lalu ia memeluknya. Erat sekali. Ia takut. Takut dengan Ayah. Setelah kehilangan Ibu, apa ia harus kehilangan Ayah juga? Mental Steve terganggu. Itu lah yang dipikirkan oleh Rin saat Steve memeluknya. Jelas saja. Baru saja ia kehilangan sosok Ibu yang sangat dicintainya. Lalu sekarang Ayah melakukan hal seperti ini. Pasti Steve benci setengah mati pada Ayahnya. Sudah bisa di tebak. Rin merasakan badan Steve gemetar. Badannya dingin. Ia terus memeluk Rin dengan ketakutan yang mencekamnya, sampai akhirnya ia lelah dan tertidur di pelukan Rin. Ya, pelukan hangat. Pengganti pelukan Ibunya.
*** Pagi datang. Pagi yang cerah. Sangat memaksa insan – insan yang sedang mendung hatinya untuk tersenyum. Menyambut pagi. Burung – burung berkicau dengan cerianya. Sangat berbeda dengan kemarin pagi yang sangat kelam. Rin duduk di pinggir tempat tidur Steve. Ia menghela nafas panjang. Ia baru saja selesai merapikan rumahnya yang hancur karena tragedi semalam. Banyak pikiran berkecamuk di kepalanya. Ia tidak bisa tidur semalam karena kejadian itu. Kepalanya terasa berat dan sakit. Seperti dupukul – pukul palu. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Steve masih tertidur. Mungkin ia kelelahan. Ia butuh banyak istirahat. Apa seharusnya ia pergi ke dokter untuk berkonsultasi tentang hal ini? Tapi kalau begini ia harus menceritakan hal yang tak menyenangkan. Begitu bukan? Rin membelai rambut Steve pelan. Entah mengapa ia sangat menyayangi kakaknya ini yang terlihat seperti anak 5 tahun di hadapannya. Walau Steve sulit tuk mengungkapkan perasaannya karena keterbatasan itu. Tapi.. Rin mendesah pelan. Saat itu juga Steve terbangun. Ia membuka matanya dan melihat adiknya berada di pinggir tempat tidur. Sedang duduk dan membelai rambutnya. Matanya langsung bersinar melihat adiknya. Sepertinya ia sudah lupa dengan masalah kemarin. Lupa. Yah. Semoga saja lupa. Tak ada manfaatnya di ingat. Hanya menyakitkanmu saja. Steve melihat pipi Rin yang merah, bekas luka cakar kemarin. Steve jadi mengingat kejadian itu lagi. Ia mencengkram kepalanya sendiri, mentalnya terganggu. Lagi. Lalu ia langsung memeluk Rin. Erat, mungkin Rin bisa tercekik karena pelukkannya. Tapi Steve takut, benar. Ia hanya takut, jangan sampai Rin pergi meninggalkannya. Ia tidak bisa berteriak agar Rin tetap disini. Ia hanya bisa memeluknya. Penuh dengan rasa takut. Entah bagaimana sepertinya Rin mengerti mengapa Steve tiba – tiba bersikap aneh seperti ini. Tak diragukan lagi. Sudah pasti mental Steve terganggu akibat kejadian kemarin. Rin sebenarnya terpukul dengan kejadian ini, tapi ia harus kuat. Demi kakaknya.. Demi memenuhi janji pada ibunya yang sangat dicintainya.. Dan untuk dirinya sendiri. Rin membelai rambut Steve pelan. Steve mengangkat kepalanya lalu melihat adiknya itu yang terlihat sangat mirip dengan ibu yang sangat ia cintai. “Semua akan baik – baik saja.” Kata Rin lirih. Rin mengajak Steve keluar kamar dengan menggandengnya. Bagaikan anak kecil yang ingin ikut ibunya untuk pergi ke swalayan. Rin berjalan menuju ke ruangan tengah, dimana benda favorit Steve disimpan. Ya, piano putih favoritnya. Hal yang mungkin sudah disukainya dari ia membuka mata di dunia untuk pertama kalinya. Di saat anak – anak lain sibuk dengan pistol atau pedang mainannya, ia memilih duduk dan menekan nada – nada indah itu di piano. Hingga seperti sekarang. Ia sangat mahir bermain piano. Steve duduk di kursi piano tersebut. Dan mulai menekan salah satu tuts piano tersebut. Tak lama kemudian terdengar lagu yang muncul dari piano tersebut. Entah lagu apa itu. Tetapi yang pasti lagunya sangat indah. Mungkin lagu ciptaan dari musisi terkenal. Entahlah, Rin kurang mengerti dunia seni. Rin hanya anak sekolah biasa yang tidak mempunyai bakat khusus. Emm.. mungkin bakat alamiahnya hanya memasak. Masak? Ya itu saja yang ia bisa dan mengurus rumah tentunya. Tapi memangnya itu bisa disebut bakat? Permainan piano Steve berhenti ketika terdengar suara pintu rumahnya diketuk. Rin bangun dari tempatnya duduk lalu ia berjalan menuju pintu depan dan membukanya. Tiga orang laki – laki tegap, kekar dan berkumis sudah berdiri di depan pintu, menunggu pintu rumah dibuka. Melihat Rin membuka pintunya, salah satu dari laki – laki tersebut menyapa dan memulai pembicaraan. “Selamat pagi. Apa ini benar kediaman Pak Hendrawan?” Terdengar suara laki – laki yang pertama. “Iya, benar. Ada apa ya?” Tanya Rin dengan kebingungan. “Kami ditugaskan oleh Bank, untuk menyita rumah ini.” Kata orang itu lagi tanpa basa – basi panjang. “Hah? Apa?” Tanya Rin kaget sebelum ia selesai berpikir. Rumah disita oleh Bank? Rin tidak bermimpi kan? Mengapa? Memangnya ada apa hingga rumah ini disita? Sekujur badan Rin langsung gemetar. Belum selesai ia menenangkan diri karena kejadian kemarin. Sudah ada lagi hal – hal yang membuatnya menjadi lebih frustasi lagi. “Ya.” Laki – laki kedua mulai angkat bicara dan mulai menjelaskan secara perlahan. “Pak Hendrawan meminjam uang pada Bank kami untuk perusahaan yang ia pimpin dan rumah ini sebagai jaminannya. Karena tunggakan pinjamannya sudah terlalu banyak. Sebagai perjanjiannya maka rumah ini di sita. Maaf tapi adik sebaiknya segera angkat kaki dari rumah ini.” Shok. Ini mimpi buruk yang kedua setelah kemarin. Rin tak percaya sama sekali dengan kenyataan yang ia dengar barusan. Rin hanya bisa berdiri mematung ketika orang tak dikenal itu masuk ke rumahnya dan mulai menulis sesuatu di sebuah kertas lalu mulai mengangkut perabotan yang ada di rumah itu. Semua terjadi begitu cepat hingga Rin tak bisa memikirkan cara untuk menghentikannya. Entah apa yang ia pikirkan hingga tangan Steve lah yang membangunkannya dari lamunan panjangnya. “Ya? Kak?” Tanya Rin kaget ketika Steve menarik tangannya. Rin melihat barang – barang dirumahnya masih di angkut keluar oleh orang – orang tadi. Wajah Steve muram. Ia hanya diam tak bergeming. Melihat orang – orang itu dengan tatapan polos yang membingungkan. Rin yang masih shok pun tak bisa bicara apa – apa pada Steve. Ia hanya diam, masih berdiri di tempat yang sama dan menunggu mereka selesai mengangkut barang – barang. Tiba – tiba Steve berlari ke ruang tengah. Dan terdengar suara salah seorang laki – laki tersebut yang tedengar seperti suara orang yang berdebat. Rin seakan tersadar bahwa ia tidak boleh seperti itu, ia langsung menyusul Steve yang sudah berada di ruang tengah. Steve berdiri di depan piano dan merentangkan tangannya seperti kemarin. Ia menghalangi orang – orang menyentuh pianonya. Sedangkan orang – orang itu memarahi Steve habis – habisan. Rin langsung menyambar tangan Steve dan menariknya. “Kak!” Rin menarik tangan kakaknya. Lagi – lagi kakaknya meronta, ia seakan ingin berteriak bahwa tidak ada yang boleh mengambil pianonya. Jangan. Jangan ambil pianoku. Mungkin hal itu lah yang dipikirkan oleh Steve. Ia terus meronta sampai akhirnya piano itu di angkat lalu dibawa keluar. Steve terdiam setelah itu, ia terduduk di tempatnya berdiri tadi. Rin pun berlutut di depannya. Memandang Steve yang menundukkan kepalanya. “Kak, jangan seperti ini.” Rin berkata pelan pada Steve, ia membelai rambut Steve, tetapi Steve hanya diam tak bergeming. Biasanya, Steve akan mengangkat wajahnya untuk melihat Rin. Tapi tidak kali ini. Rin menghela nafas panjang. Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepalanya. Ia berjalan menuju kamarnya, juga ke kamar Steve. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dengan membawa tas yang sangat besar. Bagaimana ini semua bisa terjadi? Dimana Ayah disaat seperti ini? Mengapa ini semua terjadi? Ayahnya meminjam uang pada Bank untuk perusahaannya dan ia tidak bisa membayarnya dan rumah yang jadi jaminan ini harus disita. Rin memikirkan kalimat orang – orang tadi. Mengapa ayah bisa melakukan hal seperti ini? Rin menarik tangan Steve yang masih terduduk di tempat awal. Dengan pikiran yang tidak fokus ia mengajak Steve keluar, pergi dari rumah besar itu. meninggalkan rumah yang penuh kenangan indah selama 17 tahun ia hidup.

Endless

Prologue

Cinta itu memberi. Kita bisa memberi tanpa cinta, tapi kita tidak mungkin mencintai tanpa memberi. Itulah kalimat yang kudengar dari Ibuku, ketika aku masih berumur 5 tahun. “Ingat, Rin. Tuhan tak pernah gagal dan cinta tak pernah salah.” Ucap Ibuku selanjutnya. Bagiku, kata – kata itu sangat sulit dimengerti untuk seorang anak kecil berusia 5 tahun seperti aku waktu itu. Tapi perlahan – lahan, mungkin aku mengerti mengapa Ibu mengatakan hal itu di saat aku masih kecil. Kala itu di akhir bulan April, Ibu pulang ke rumah bersama dengan seorang anak laki – laki. Aku masih ingat, ia memakai baju kuning dan celana hitam dan ia bersembunyi di belakang ibu ketika melihatku. Saat itu, yang aku pikirkan ia adalah saudaraku. Tetapi ternyata bukan.. Anak laki – laki itu bernama Steve, waktu itu umurnya sekitar 9 tahun. Anak kecil yang manis, bermata coklat dan berambut hitam berkilau. Anak yang tampan dan aku rasa semua orang tua pun menyukainya. Ia adalah anak dari teman Ibuku, yang harus tinggal disini karena suatu hal. Steve adalah anak yang sulit ditebak. Hobinya bermain piano dan ia adalah anak yang aktif tetapi ia tak pernah berbicara sedikitpun. Hmm.. Sangat aktif lebih tepatnya, bahkan cenderung susah diatur. Terkadang, ia sulit untuk di nasihati, bahkan rambutku pernah ditarik olehnya. Aku merasa ia adalah anak yang nakal. Itulah yang kupikirkan saat itu. Saat itu aku tak pernah menyukainya, aku merasa ia merebut Ayah dan Ibu. Dulu, setiap aku bangun tidur, aku selalu memeluk Ibu, tetapi sejak ia mengikutinya, ah, aku jadi enggan entah mengapa. Sewaktu aku sedih atau terluka, ibu selalu menciumku dan Steve juga mengikutinya. Aku merasa seakan akan ia merebut pelukan hangat dan ciuman dari Ibu. Begitu juga Ayah, saat Steve baru tinggal 1 minggu di rumah kami, Ayah membelikan Steve sebuah piano putih! Aku sangat tahu, piano adalah barang yang sangat mahal! Sedangkan aku, hanya dibelikan sebuah boneka yang sudah banyak berada di kamarku. Sebenarnya bukan barang yang jadi permasalahan. Tetapi, aku merasa keberadaanku jadi tersingkirkan karena Steve. Apa lagi aku adalah anak tunggal. Sangat sulit untuk menerima keadaan itu. Aku menjauh dari Steve. Aku mulai berpikir untuk membencinya. Walau kadang Steve sering mengajakku bermain, tetapi aku selalu pergi meninggalkannya. Entah masuk ke kamar atau pergi keluar menyiram bunga favoritku. Hingga suatu saat, Ibuku bertanya padaku. “Rin, mengapa kamu tidak mau bermain dengan Steve?” Tanya Ibuku waktu itu di suatu malam, tepat satu bulan sejak Steve hadir dirumah kami. Aku yang masih kecil saat itu, hanya melihat Ibu dengan tatapan polos tetapi penuh dengan rasa kesal. Aku tidak bisa bilang apa – apa. Sulit bagi anak berumur 5 tahun untuk mengucapkan perasaannya bukan? Ibuku menatapku dengan lembut, tanpa ada rasa kesal. Tatapannya penuh kasih sayang, benar – benar seperti seorang malaikat. Ia membelai rambutku perlahan, lalu ia tersenyum padaku. Entah mengapa akhirnya aku mulai jujur dengan Ibu melalui kata – kataku yang seadanya. “Aku gak suka Steve. Dia sombong, lalu dia juga nakal. Ibu dan Ayah juga lebih sayang Steve kan daripada aku?” Kataku polos Wanita itu menghela nafasnya panjang. Aku tak mengerti mengapa, tapi sepertinya mungkin Ibu kecewa dengan pernyataanku. Ia membelai rambutku lagi seraya tersenyum. Dengan perlahan, ia mulai bercerita untuk membuatku mengerti. “Rin, Steve itu bukan sombong.” Itulah kalimat yang kudengar pertama kali dari cerita Ibu. “Steve tidak bisa bicara sama sekali karena pernah mengalami kecelakaan dulu.” Ibuku mulai bercerita tentang masa lalu Steve. Mungkin di saat itu juga lah aku mengerti rasa iba, kasihan dan sebagainya. Kasihan, aku baru tahu. Steve juga merupakan anak tunggal di keluarganya. Steve tinggal disini karena Ayah dan Ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil, beruntung Steve selamat walau karena trauma Steve tidak bisa bicara lagi. Dan lebih yang membuat aku sedih, Steve itu berkebutuhan khusus. Yah, bisa disebut.. Autis.. “Rin, kamu mau kan membantu Ibu untuk menjaga Steve? Rin mau kan Steve sembuh?” Pada akhirnya Ibu membujukku. Aku mengangguk, kulihat Ibu tersenyum melihat responku. Itulah hari dimana aku mulai menjadikan perkataan ibu sebagai pedoman hidupku. Walau pada saat itu masih banyak kata – kata yang sulit ku mengerti. Aku dan Steve menjadi teman baik, juga menjadi kakak adik yang sangat dekat. Aku menyayangi Steve dan rasa itu tak berkurang walau hari terus berganti. Hanya saja dulu aku berpikir, menjaga Steve tidak akan lama. Tetapi kenyataannya..

- Copyright © rzlRyuzaki - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -